Wednesday, April 1, 2020

Sepenggal kisah yang terekam saat menjejali indahnya Gunung Tampomas




Mengikuti pendakian, merupakan pengalaman pertama yang beraneka rasa. Antusias mengawali rasa, diikuti gejolak rasa yang tak terduga, tapi berakhir indah luar biasa.


Sepenggal kisah ini hanya fiksi yang terinspirasi dari sebuah pengalaman. Berikut kisahnya...

Liku Pendakian 1684 MDPL
Semangat perlahan terkikis oleh lelahnya pendakian dan pandangan yang semakin tampak bias. Aku mulai lunglai tak kuasa menahan badanku sendiri. Apalagi teman-teman tampak menyalahkanku karena air perbekalan habis begitu saja saat mencuci tangan di balik bukit. Saat itu, aku pun nyaris tak selamat tapi mereka hanya memikirkan perbekalan air yang jatuh itu.



Tak jauh dari tempat aku terjatuh sebenarnya ada mata air tapi sulit untuk dilalui. Mereka lebih memilih melanjutkan perjalanan, Doni  mengatakan bahwa ada mata air di depan sana. Kami ikuti anjuran itu. Tak mungkin mereka yang begitu kesal mengikuti perkataanku. Dan benar saja, setelah melalui jalan setapak yang terjal, kami menemukan mata air yang sangat jernih. Dengan segera kami meneguk air itu, dahaga yang sedari tadi meronta seakan hilang tersapu aliran yang masuk ke seluruh tubuh.



Sepanjang perjalanan menuju puncak Gunung Tampomas, Ari terus saja menyalahkanku. Ingin rasanya aku kembali pulang. Aku sangat menyesal mengikuti pendakian ini. Bahkan saat sampai di Sanghyang Taraje, aku paling akhir yang diberi bantuan. Sanghyang Taraje merupakan bukit yang sangat terjal, sehingga kami membutuhkan tali caramantel untuk melaluinya. Dua hari pendakian ini memang penuh liku, aku yang ceroboh membuat semua orang menekuk wajah. Aku terima semua kemarahan mereka, apa boleh buat tak mungkin aku kembali sendirian melalui hutan yang lebat,  bisa-bisa aku tersesat tak bisa pulang. 



1 comment:

  Koneksi Antarmateri Modul 1.4 Budaya Positif Budaya positif merupakan sebuah kebiasaan yang dilaksanakan dengan nila-nilai keyakinan. Ke...