Mengikuti pendakian, merupakan pengalaman pertama yang beraneka rasa. Antusias mengawali rasa, diikuti gejolak rasa yang tak terduga, tapi berakhir indah luar biasa.
Sepenggal kisah ini hanya fiksi yang terinspirasi dari sebuah pengalaman. Berikut kisahnya...
Liku
Pendakian 1684 MDPL
Semangat
perlahan terkikis oleh lelahnya pendakian dan pandangan yang semakin tampak
bias. Aku mulai lunglai tak kuasa menahan badanku sendiri. Apalagi teman-teman
tampak menyalahkanku karena air perbekalan habis begitu saja saat mencuci
tangan di balik bukit. Saat itu, aku pun nyaris tak selamat tapi mereka hanya
memikirkan perbekalan air yang jatuh itu.
Tak jauh
dari tempat aku terjatuh sebenarnya ada mata air tapi sulit untuk dilalui. Mereka
lebih memilih melanjutkan perjalanan, Doni mengatakan bahwa ada mata air di depan sana.
Kami ikuti anjuran itu. Tak mungkin mereka yang begitu kesal mengikuti
perkataanku. Dan benar saja, setelah melalui jalan setapak yang terjal, kami
menemukan mata air yang sangat jernih. Dengan segera kami meneguk air itu,
dahaga yang sedari tadi meronta seakan hilang tersapu aliran yang masuk ke
seluruh tubuh.
Sepanjang
perjalanan menuju puncak Gunung Tampomas, Ari terus saja menyalahkanku. Ingin
rasanya aku kembali pulang. Aku sangat menyesal mengikuti pendakian ini. Bahkan
saat sampai di Sanghyang Taraje, aku paling akhir yang diberi bantuan.
Sanghyang Taraje merupakan bukit yang sangat terjal, sehingga kami membutuhkan
tali caramantel untuk melaluinya. Dua
hari pendakian ini memang penuh liku, aku yang ceroboh membuat semua orang menekuk
wajah. Aku terima semua kemarahan mereka, apa boleh buat tak mungkin aku
kembali sendirian melalui hutan yang lebat,
bisa-bisa aku tersesat tak bisa pulang.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete