Entah Apa yang Merasuki
Pikiranku
Karya Wiwin Winarni
Bagi sebagian orang hari pertama
sekolah menjadi momen yang menyenangkan, tapi tidak bagiku. Terbersit di
pikaranku untuk segera pulang karena bisa jadi hari pertama sekolah, belajar
belum efektif. Pikiran sesat itu, terus menyelinap di kepalaku. Memang
sebenarnya belum ada pengumuman pulang, tapi bisikan-bisikan untuk segera
meninggalkan kelas ini selalu ada, entah mengapa? Akhirnya aku putuskan untuk
pulang secara diam-diam melewati benteng di belakang sekolah. Saat di belakang
gedung sekolah, dengan mudah aku meloncati tembok bak seorang atlet lompat
indah. Aku tertawa sendiri membayangkan Seandainya aku jadi seorang atlet.
Di perjalanan,
aku melihat sosok yang biasa kutemui di pagi
hari saat memasuki gerbang sekolah. Ya, dia adalah satpam sekolah yang selalu
sigap saat ada siswa yang sakit. Selain itu, dia juga
selalu mengamankan anak-anak yang selalu mencari perhatian, kadang aku
sering lomba lari dengannya. Dia tampak duduk di persimpangan jalan yang biasa
ku lewati. Segera aku mencari akal, menemukan
jalan lain. Tapi saat itu sawah sedang di garap para petani, sehingga sulit
menemukan jalan pintas lain. Akhirnya, kuputuskan
untuk bersembunyi sementara waktu. Saat bersembunyi, ternyata aku duduk di
antara sekawanan semut yang tak sengaja kuinjak. Dan tentu saja, semut-semut
itu mengerumuni tubuhku yang masih tampak segar. Aku berteriak, teriakanku
membuat pak satpam datang
menghampiriku. Dia terus menanyaiku dengan
rentetan pertanyaan. Aku pun digiringnya menuju sekolah melewati pintu
depan. Betapa malunya saat ku lihat wajahku penuh dengan bentolan karena gigitan semut. Sepanjang jalan, orang-orang
melihatku dengan tatapan heran. Saat
tiba di sekolah, aku diceramahi dan disuruh kembali ke kelas. Tapi
karena terlanjur malu, aku tak sampai ke kelas. Aku
berjalan menuju warung yang biasa aku datangi untuk mengisi perut. Di warung
sekolah pun tak luput pertanyaan, ibu penjaga warung menjejaliku dengan banyak petanyaan. Tapi
aku tak menghiraukan pertanyaan-pertanyaan itu. Pikiran jahat itu kembali
memenuhi kepalaku. Aku terlanjur malu sama teman-temanku, kalau aku kembali
pasti aku jadi bahan olok-olok mereka.
Akhirnya, aku kembali meloncati
pagar itu. Secepat kilat aku berlari menyusuri pematang sawah yang sedang ditanami oleh para petani. Hujan yang turun tadi
malam, membuat pematang sawang itu sangat licin. Aku terpeleset, hingga sekujur
tubuhku penuh dengan lumpur. Bajuku yang
putih, kini tak tampak putihnya lagi. Malang sekali nasibku, semua memang
kesalahanku. Entah apa yang merasuki pikiranku!